Alun-alun Bandung dibangun sekitar tahun 1811 setelah pemindahan ibukota dari Krapyak ke Cikapundung setahun sebelumnya untuk membendung serangan Inggris. Sebagai ruang publik di tengah pusat kota, alun-alun menjadi tempat yang memiliki simbol kewibawaan, kekuasaan pemerintah, dan pusat kebudayaan kota Bandung pada zamannya. Namun pada kenyataannya, di masa kini Alun-alun mengalami pergeseran makna seiring dengan perubahan yang terjadi secara mendasar pada perkembangan masyarakat di dalamnya.
Dalam sebuah ruang, khususnya ruang publik di mana orang-orang berkumpul dan berkegiatan, terdapat definisi batas yang secara jelas memberikan orientasi dan makna penting dalam ruang tersebut. Batas sebuah ruang baik fisik dan nonfisik ini tentunya memberikan pengaruh yang sangat besar pada ruang tersebut dalam penciptaan suasananya. Seperti yang telah diketahui, Alun-alun Bandung kini dikelilingi oleh bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan dan bank yang secara fisik cukup menarik perhatian dengan ketinggian dan fasad bangunannya. Walaupun terdapat menara masjid yang dapat menjadi ikon dibandingkan bangunan di sekitarnya, suasana komersialitas yang tercipta dalam ruang yang dibatasi bangunan komersial memberikan pengaruh besar.
Kegiatan yang paling menonjol, khususnya jual-beli dan makan, memiliki nilai yang lebih profan dibandingkan Alun-alun sehingga mengurangi nilai sakral pusat kota. Walaupun terdapat fungsi religius di dalam masjid, suasana komersil–khususnya dengan banyaknya pedagang kaki lima dengan pengaturan yang tidak terencana dengan baik–mengurangi kesakralan sebuah alun-alun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana alun-alun dikhususkan sebagai pusat budaya dan kekuasaan pemerintah dengan suasana yang lebih formal, kini alun-alun berkembang menjadi lebih informal dan komersial walaupun kegiatan keagamaan juga sering diadakan.
sumber :
http://arsitekturbicara.wordpress.com/2011/10/08/makna-ruang-publik-alun-alun-dan-gasibu-bandung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar